HERALDSULBAR – Di ufuk barat Nusantara, di tanah Mandar yang berpagut ombak dan bukit, nama AGH. Muhammad Thahir Imam Lapeo menjejak sejarah. Ia bukan sekadar ulama, melainkan seorang sufi, guru, dan pemimpin yang menapaki jalan sunyi demi ilmu dan umat. Imam Lapeo, nama yang melekat erat karena masjid yang didirikannya di Lapeo, bukan sekadar menjadi tempat ibadah, tetapi menjadi poros spiritual yang menyinari masyarakat sekitarnya.

Dikenal juga sebagai Kannai Tambul—’kakek dari Istanbul’—perjalanannya mencari ilmu membawa dirinya hingga ke Makkah dan Istanbul. Langkah-langkahnya menapaki jejak para wali, mendalami syariat, tarekat, dan hakikat. Dari pesisir Pambusuang, ia berlayar jauh, menuntut ilmu hingga ke Pulau Salemo, Padang, Madura, Tarim, hingga Singapura. Setiap tapak perjalanannya mengukir kebijaksanaan, yang kelak mengalir dalam petuah dan tindak-tanduknya.

Imam Lapeo bukan sekadar guru, tetapi juga pemersatu. Jejaring ulama yang ia bangun menjangkau berbagai penjuru Nusantara. Persinggungannya dengan tokoh-tokoh seperti Syekh Kholil Bangkalan dan Habib Alwi bin Abdullah al-Sahl mengokohkan jati dirinya sebagai ulama besar. Dakwahnya merambah dari pesisir nelayan hingga pegunungan Buttu Daala, di mana ia menemani gurunya, As-Syekh Habib Alwy bin Abdullah Bin Sahil Jamalullail.

Keberadaannya di tengah masyarakat bukan hanya sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai pilar sosial. Keberaniannya menghadapi kolonialisme Belanda dan Jepang mencerminkan keteguhan hatinya. Ia bukan hanya seorang imam, tetapi juga simbol perlawanan. Bukan hanya seorang sufi, tetapi juga seorang pendidik yang menanamkan nilai-nilai Islam ke dalam masyarakat Mandar.

Masjid Nur Al-Taubah di Lapeo, yang menaranya bergaya arsitektur Istanbul, menjadi saksi bisu perjuangannya. Tak hanya satu, tetapi tujuh belas masjid di pesisir Sulawesi Barat lahir dari inisiatifnya, menjadi pelita bagi umat yang dahaga akan cahaya keimanan. Di samping itu, lembaga pendidikan yang ia dirikan menjadi ladang subur bagi ilmu dan akhlak, di mana generasi penerus belajar memahami Islam yang berakar pada tasawuf dan keberanian.

Ada tujuh puluh empat karamah yang tertulis dalam riwayat hidupnya, sebagaimana dicatat oleh cucunya, Syarifuddin Muhsin. Keistimewaannya bukan hanya dalam dimensi spiritual, tetapi juga dalam dimensi kemanusiaan. Ia bukan sekadar ulama yang menuntun umat ke surga, tetapi juga wali yang memahami denyut nadi kehidupan. Bagi masyarakat Mandar, ia bukan hanya sosok yang dihormati, tetapi seorang Waliullah yang jejaknya tetap dikenang, mengalir dalam doa-doa dan cerita yang tak lekang oleh waktu. (*)