HERALDSULSEL.COM – Akar muara dari perbuatan syirik adalah khianat. Khianat terhadap tujuan terbesar manusia hidup di dunia. Khianat terhadap nikmat yang telah Allah berikan dengan menolak untuk menyatakan rasa syukur dan perendahan diri kepada Sang Pencipta subḥānahu wata‘ālā.

Dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) [1], berkhianat terhadap negara dalam bentuk makar pembunuhan presiden atau mengadakan tindak separatisme adalah salah satu tindakan kriminal paling besar yang terancam hukuman mati. Alasannya adalah negara telah memberikan pelayanan kepada warga negara dalam bentuk perlindungan dan berbagai fasilitas dengan imbalan loyalitas dari penduduknya. Mengadakan makar atau memberontak kepada negara berarti seseorang telah mengkhianati negara tersebut.

Demikian pula perbuatan syirik. Memberikan penyembahan, penghinaan diri, doa, dan bentuk ibadah lainnya kepada sesuatu selain Allah adalah bentuk pengkhianatan dan kriminalitas terbesar yang dapat dilakukan seorang hamba. Bagaimana tidak, Allah yang telah menciptakan manusia dari ketiadaan, kemudian memberikannya nikmat kehidupan, lantas manusia malah menyembah kepada selain Allah yang tidak bisa menghidupkan maupun mematikan. Ini adalah perbuatan khianat yang luar biasa.

Jika label tindak kejahatan luar biasa dan pemberian hukuman mati saja dianggap pantas bagi orang yang membelot dan berkhianat kepada negara, maka orang yang berkhianat kepada Allah dalam bentuk berbuat syirik juga pantas dianggap sebagai dosa terbesar dan dihukum dengan hukuman terberat, yaitu kekal di neraka.

Sebab, Allah bukan hanya telah memberikannya perlindungan dan fasilitas, bahkan Allah telah memberikannya kehidupan. Dialah yang telah memberikannya telinga untuk mendengar, mata untuk melihat, dan akal untuk berpikir agar digunakan untuk mencari kebenaran dan memberikan penyembahan kepada yang berhak disembah, Allah ‘azza wa jalla. Allah Ta‘ālā berfirman,

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَـٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلْكَرِيمِ ٱلَّذِى خَلَقَكَ فَسَوَّىٰكَ فَعَدَلَكَ فِىٓ أَىِّ صُورَةٍۢ مَّا شَآءَ رَكَّبَكَ

“Wahai manusia! Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakanmu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang. Dalam bentuk apa saja yang dikehendaki, Dia menyusun tubuhmu.” (QS. An-Nāzi‘āt: 6-8).

Syirik menegasikan tujuan hidup manusia

Manusia diciptakan Allah dengan satu tujuan universal, yaitu agar mengesakan Allah dalam peribadahan atau disebut juga dengan tauhid. Oleh karena tauhid merupakan tujuan terbesar diciptakannya manusia, maka syirik otomatis menjadi penegasi terbesar tujuan hidup manusia.

Ibnu Al-Qayyim rahimahullah menerangkan ketika menjawab mengapa syirik merupakan dosa terbesar yang paling dibenci Allah? Salah satu jawabannya adalah ketika seseorang melakukan kesyirikan, maka dia,

خرج عما خلق له وصار إلى ضد ما هيئ لها

“telah keluar dari tujuan ia diciptakan dan melakukan sesuatu yang berkebalikan dengan fitrahnya.” [2]

Syirik adalah sikap narsistik dan penyembahan diri sendiri

Orang yang enggan menyembah Allah atau menyembah Allah bersama dengan tuhan-tuhan kecil lainnya, hakikatnya ia adalah orang yang egois, narsis, dan penyembah hawa nafsunya sendiri. Sebab, tuhan-tuhan yang disembah selain Allah sebenarnya hanyalah hasil ciptaan manusia itu sendiri. Artinya, manusialah yang menciptakan tuhan-tuhan mereka sendiri lalu ia sembah. Tidak ada sikap yang lebih egois dan sombong dibandingkan berani menciptakan bentuk peribadatan sendiri yang berasal dari hasil karangan imajinasinya sendiri, lantas kemudian ia sembah. Allah Ta‘āla berfirman,

إِنَّمَا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَوْثَـٰنًۭا وَتَخْلُقُونَ إِفْكًا ۚ

“Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah hanyalah berhala-berhala, dan kamu membuat kebohongan.” (QS. Al-‘Ankabūt: 17)

Pada ayat di atas, Allah menyifati orang yang berbuat syirik sebagai pembohong. Artinya, mereka pun mengetahui bahwa tuhan-tuhan selain Allah yang mereka sembah hanyalah karangan mereka sendiri. Meski begitu, karena egoisme dan rasa sombong, mereka tetap menyembahnya sehingga hakikatnya mereka menyembah diri mereka sendiri. Allah Ta‘ālā berfirman,

أَرَءَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَـٰهَهُۥ هَوَىٰهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا

“Sudahkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya? Apakah engkau akan menjadi pelindungnya?” (QS. Al-Furqān: 43). (sumber: muslim.or.id)